Ritual Ngingsah Galih dan Ngadegang Dewi Tapini, Awali Upacara Ngenteg Linggih Pura Agung Mpu Kuturan

Mahasiswa STAHN Mpu Kuturan, Gelar Pelatihan Sesana Kepemangkuan di Wanagiri
October 15, 2022
Putu Shinta Aiswarya, Mahasiswa STAHN Mpu Kuturan Yang Raih Beberapa Penghargaan Nasional
October 18, 2022

SINGARAJA, HUMAS – Karya Agung, Mamungkah/Wrespati Kalpa Utama dan Ngenteg Linggih di Pura Agung Mpu Kuturan pada STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja diawali dengan ritual Ngingsah Galih dan Ngadegang Dewi Tapini, yang berlangsung Senin, 17 Oktober 2022.

Ritual tersebut menjadi rangkaian dari kegiatan negem Dewasa, yang juga dilaksanakan mecaru eka sata, lan melaspas sarana uparangga, yang diikuti oleh seluruh Civitas Akademika STA Negeri Mpu Kuturan Singaraja.

Ritual Ngingsah Galih (baas) dan Ngadegang Dewi Tapeni menjadi bagian dari prosesi sebuah upacara besar yang menggunakan sarana banten catur dan mebebangkit maupun karya meayu-ayu. Prosei diawali dengan tahapan mepasaran (medagang-dagangan).

Kemudian dilanjutkan dengan ngingsah galih, ngereka galih, ngaga tirta, pereresik, pekeling bhatara kabeh, nedunang Ida Bhatara Dewi Tapeni lan Ida Bhatara Rare Angon. Prosesi tersebut dipimpin oleh Ida Pandita Mpu Nabe Istri Dwija Witaraga Sanyasi, dari Gerya Taman Sari Asrahama Kekeran.

Pada prosesinya, Ngingsah Galih menggunakan empat jenis beras. Yakni beras hitam (injin), beras putih, beras merah dan beras injin. Masing-masing beras memiliki makna filosofis tersendiri. Dimana, beras putih simbol dari badan ketan simbol dari kulit, injin simbol dari rambut dan merah simbol dari bibir.

Saat ngingsah galih digunakan unsure panca datu. Dimana warna merah dari tembaga, putih dari perak, kuning dari mas, selaka dan mirah. Galih disaring dengan menggunakan kukusan. Sedangkan air bekas cucian beras tersebut ditempatkan pada payuk (periuk). Kemudian air yang digunakan adalah sarana toya ening atau air suci yang sudah disucikan oleh sang sulinggih, pancuran, air sudamala dari taman maupun kelebutan. Bahkan, dilarang menggunakan air ledeng.

Prosesi diawali dengan menuangkan beras ke dalam kukusan dan di aduk dengan sarana ambengan yang diikat serta berisi panca datu ditambah manik pitu. Ini mengandung makna mensucikan semua sarana yang akan dipakai dalam segala upakara yadnya. Dalam prosesi tersebut semua terlibat seperti sulinggih pemangku sarati banten.

“Ini sebagai simbul kesiapan beryadnya dalam artian hingga batas waktu selesainya upacara yadnya dimaksud yakin tidak akan kekurangan sandang pangan utamanya segala kelengkapan upacara yadnya yang diselenggarakan,” jelas Ida Pandita Mpu Nabe Istri Dwija Witaraga Sanyasi.

Ritual ini sebut Ida Pandita Mpu Nabe Istri tertuang dalam Lontar Yadnya Prakerti, Tapeni Yadnya dan Mpulutuk Banten. Usai ngingsah galih, dilanjutkan dengan ritual ngadegang Ida Bhatara Tapini dan Rare Angon, dengan terlebih dahulu melakukan ritual pembersihan.

“Setelah disucikan, kemudian keadegang, ngereka atau keuirp oleh Ida Bhatara Sang Hyang Pasupati. Ngamedalang pengurip agar Ida Bhatara kadegang, pertama Ida Bhatara Siwa Rare Angon yang menjadi penguasa pala bungkah dan pala gantung atau tumbuh-tumbuhan. Sehingga tumbuh-tumbuhan bisa dijadikan upakara berbagai upacara,” paparnya. (hms)

Comments are closed.