SINGARAJA, HUMAS – Dosen dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Dharma Duta Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja melaksanakan Wanara Laba di Pura Pulaki Jumat, 28 Januari 2022. Kegiatan tersebut serangkaian dengan perayaan Tumpek Uye (Kandang).
Jenis lelabaan (makanan) yang diberikan kepada ribuan kera yang ada di Pura Pulaki tersebut dinataranya berupa pisang, rambutan, telor hingga bunga gumitir. Prosesi pembagian lelabaan dilakukan di tiga titik di areal Pura Pulaki, seusai melaksanakan persembahyangan bersama.
Begitu lelabaan diberikan, kawanan kera langsung menyerbu. Dalam sekejap puluhan kilogram rambutan, pisang, telor dan bunga gumitir ludes dimakan. Dosen dan mahasiswa pun membaur untuk memberikan secara langsung kepada kawanan kera.
Ketua Jurusan Dharma Duta STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Nyoman Suardika, S.Ag, M.Fil.H mengatakan, kegiatan Wanaralaba untuk kera di Pura Pulaki sebagai bentuk implementasi dari perayaan Tumpek Uye dalam menjalin hubungan yang harmonis antara manusia dengan hewan.
“Kami menggalang donasi di jurusan Dharma Duta, dari mahasiswa dan dosen untuk mengumpulkan dana dan makanan yang diberikan kepada para wanara di Pura Pulaki. Ini bentuk aksi nyata kami serangkaian Tumpek Kandang dan Dies Natalis STAHN Mpu Kuturan yang puncaknya diperingati pada 23 Maret mendatang,” jelasnya
Suardika yang juga menjabat sebagai Ketua PHDI Kecamatan Buleleng menambahkan, kegiatan seperti ini akan terus dilakukan secara berkesinambungan. Sehingga mahasiswa tidakhanya belajar di kelas semata. Tetapi juga turun ke lapangan untuk mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal yang diperolehnya di bangku kuliah.
“Aksi nyata berbagi terhadap para wanara ini sebagai implementasi dari hububgan Tri Hita Karana, yakni antara manusia dengan alam khususnya binatang. Secara tidak langsung kita bisa tirtayatra, ngayah sembari memberikan lelabaan,” paparnya.
Sementara itu, salah seorang pengempon Pura Pulaki, Jro Mangku Darsana mengatakan, donasi berupa makanan, buah-buahan, telur kepada ribuan kera sangat membantu pengempon Pura Pulaki. Pasalnya, selama ini, ribuan kera tersebut makanannya dianggarkan dari dana punia yang dikelola pengempon.
“Setiap hari itu diberikan makan oleh pengempon. Jagung dibelikan sebanyak tiga karung, biasanya pisang satu pickup dibagikan di tiga titik. Sehingga semua kera dapat makan,” jelas Mangku Darsana.
Kendati demikian, pihaknya bersyukur jika ada donator baik dari mahasiswa maupun masyarakat untuk turut berkontribusi memberikan makanan kepada ribuan kera di Pura Pulaki dan Pesanakan.
“Kalau mau ngasi telur biasanya jangan direbus. Karena kera tidak mau makan telur rebus. Begitu juga daging ayam biasanya kera menolak. Jagung, pisang itu paling disenangi, ada juga yang berdonasi ubi, rambutan kalau pas lagi musim,” pungkasnya.
Disisi lain, umat Hindu di Bali melaksanakan perayaan Tumpek Uye atau Tumpek Kandang sebagai momentum sebagai jalan penyupatan bagi seluruh jenis satwa di Bhuana Agung agar meningkat kualitas kehidupannya.
Dosen STAHN Mpu Kuturan SIngaraja Ayu Veronika Somawati, M.Fil.H mengatakan, perayaan Tumpek Uye setiap 210 hari, tepatnya pada Saniscara Wuku Uye sebagai bukti jika Hindu sangat menghormati keberadaan hewan yang menyokong kehidupan manusia. Perayaan Tumpek Uye bahkan tertuang dalam Lontar Sundarigama.
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan: “Uye, saniścara kliwon, tumpĕk kandang ngaran, pakrĕti ring sarwa paśu, sato, mina, paksi, mwang patik wĕnang. Kalinganya, rikang wang wĕnang mamarid ring sanghyang rare angon, twi tatwayan ing manusa, ikang paksi sato mina ring raganta kapratyaksaknanta, apan raganta walungan ing śarīra twi tatwaya sanghyang rare angon, sira umawak uttama ning śarīranta”
Jika diartikan, Pada hari Sabtu Kliwon wuku Uye dinamakan Tumpĕk Kandang, yakni hari suci untuk mendoakan keselamatan hewan, binatang, ikan, unggas, dan ternak. Maknanya adalah manusia diperkenankan memohon sisa persembahan kepada Sanghyang Rare Angon, sesuai kodrati manusia itu sendiri bahwa unggas, binatang, dan ikan bisa dicari di dalam diri manusia, karena raga manusia dibangun oleh tulang belulang (wawalungan) yang pada hakikatnya adalah manifestasi Sanghyang Rare Angon yang menjelma dalam diri manusia.
Dikatakan Ayu Veronika, doa umat Hindu sehari-hari dalam Puja Tri Sandhya bait ke-5 dengan tegas menyatakan Sarvaprani hitankarah. “Hendaknya semua makhluk hidup sejahtra adalah doa yang bersifat universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala isinya,” jelasnya.
Upacara selamatan kepada binatang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa kasih sayang kepada semua binatang, khususnya binatang ternak atau piaraan. Bagi masyarakat agraris, binatang khususnya sapi sangat membantu manusia. Tenaganya untuk bekerja di sawah, susunya untuk kesegaran dan kesehatan manusia bahkan kotorannya bermanfaat untuk menyuburkan tanaman.
“Hewan bahkan mengorbankan dirinya buat manusia, untuk menyediakan protein hewani daging, susu, telur, dan lemak. Sehingga manusia sangat mendapatkan manfaat dari hewan,” imbuhnya.
Perayaan hari suci Tumpek Uye menjadi momentum agar manusia senantiasa menjaga kelestarian semua makhluk hidup khususnya hewan dan hewan ternak. Sehingga tidak mengherankan bila saat hari Tumpek Uye tiba, masyarakat di Bali yang memiliki hewan peliharaan golongan sato, mina, paksi, manuk, untuk dibuatkan sesajen.
Tujuannya untuk memberikan penyupatan agar kelahiran berikutnya dari roh hewan-hewan tersebut bisa meningkat kualitas tingkat kehidupannya. Umat Hindu sebut Ayu Veronika mempercayai bahwa di dalam tubuh para binatang bersemayam jiwatman yang memberikan kehidupan kepada para binatang sama halnya dengan makhluk lain.
“Penyupatan itu tidak semata untuk binatang dalam pengertian fisik yang ada di bhuwana agung alam semesta tetapi juga nonfisik berupa sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia bhuwana alit,” katanya.
Secara perhitungan Wariga, penyebutan Tumpek Uye tiada terlepas dari perhitungan dina (hari). Saniscara (Sabtu) dianggap memiliki urip 9, wara kliwon memiliki urip 8 dan wuku uye juga memiliki urip 8. Jika dijumlahkan, Saniscara Kliwon Uye memiliki urip 25. Jika kedua angka itu dijumlahkan, didapat angka 7.
Berdasarkan Tattwa Samkhya, hari dengan urip 7 dianggap sebagai hari berwatak rajah yang disejajarkan dengan watak sato (binatang). Senyatanya, dalam kehidupan sehari-hari, manusia juga kerap mengkonsumsi daging yang bersumber dari hewan.
Karenanya, unsur-unsur binatang telah bersemayam juga dalam tubuh manusia. Semua ini sedikit banyak juga membawa pengaruh pada tabiat, sifat dan karakter manusia. Karena itu, manusia dikonsepsikan dalam Hindu memiliki sifat Tri Guna yakni satwam, rajas dan tamas.
“Secara filosofis, perayaan Tumpek Kadang adalah mengandangkan pikiran yang begitu liar diibaratkan seperti hewan dan harus dikendalikan, sehingga bisa mengekang hawa nafsu,” jelasnya.
Menurut lontar Sundarigama, sarana upakara yang dihaturkan pada hari Tumpek Kandang ini adalah suci, daksina, pras ajuman, penek, soda prani putih kuning, canang lengewangi buratwangi, panyeneng, pasucian, dipersembahkan di Sanggar, berdoa memohon keselamatan kehadapan Sang Hyang Rare Angon.
Adapun sesajen untuk hewan ternak, seperti kerbau, kuda, sapi, gajah antara lain tumpeng sayut 1 buah, panyeneng, reresik, jarimpen, canang raka. Untuk babi betina diberi sesajen berupa tipat blakot.
Untuk babi jantan wajib diberi sesajen blayag, pesor dan segawon. Untuk berbagai jenis unggas, seperti ayam, perkutut, itik, angsa, burung puteh wajib diberi berbagai jenis ketipat kedis, ketipat sidapurna, ketipat bagia, ketipat pandawa disertai dengan panyeneng dan tatebus serta kembang pahes.
Maknanya adalah manusia diperkenankan memohon sisa persembahan kepada Sang Hyang Rare Angon. Sesuai dengan kodrati manusia itu sendiri bahwa unggas, binatang dan ikan bisa dicari di dalam diri manusia.
“Karena raga manusia dibangun oleh tulang belulang (wawalungan) yang pada hakekatnya adalah manifestasi Sang Hyang Rare Angon yang menjelma dalam diri manusia,” kata Veronika.
Pelaksanaan tumpek kandang bisa dilakukan baik menggunakan sarana tingkat alit, madya hingga tingkat agung. Selain perbedaan sarana, mantram yang digunakan pun berbeda sesuai dengan tingkatan. (hms)